Rabu, 30 November 2011

Falsafah Budaya Makassar


Ayam dalam Sejarah dan Budaya Sulsel

129704279732857975
KATA ini, Manu’ (Bugis) atau Jangang (Makassar) yang berarti ayam, merupakan kata yang sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar. Gilbert Hamonic menyebutkan bahwa kultur bugis kental dengan mitologi ayam. Jika mendapatkan pembahasan yang berimbang maka kata ini bisa jadi sangat mewarnai perjalanan sejarah dan kebudayaan Sulawesi Selatan. Ketika hal ini saya sampaikan kepada lima mahasiswa sejarah UNHAS yang datang bertamu ke rumah, mereka malahan tertawa seakan tidak percaya terhadap apa yang baru saja didengarnya. Mereka seakan lupa bahwa Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin, digelari “Haaantjes van het Oosten” yang berarti “Ayam Jantan dari Timur” dan lambang universitas tempat mereka kuliah adalah gambar ayam.
Masyarakat Bugis Makassar selain menjadikan ayam sebagai ternak peliharaan juga menjadikannya sebagai hewan aduan. Karena keakraban dengan ayam ini dengan senantiasa memperhatikan tanda – tanda fisik, bulu dan bunyi kokoknya, orang Bugis Makassar memiliki kepercayaan, firasat, alamat atau pertanda dari ayam ini :
1) Bila ayam betina beradu dibawah kolong rumah, maka itu pertanda bahwa yang empunya rumah akan kedatangan tamu ;
2) Bila ayam betina berkotek di waktu malam, maka itu pertanda akan ada kerabat yang akan meninggal. Ayam ini disebut “Manu’ patula-tula” dan karenanya harus disembelih, tidak boleh dibiarkan bertelur karena dapat membawa sial atau celaka ;
3) Bila ayam memakai jambul (simpolong), maka itu pertanda ayam tersebut tidak baik dipelihara karena bisa membawa sial ;
4) Bila ayam berbulu kelabu (kawu) maka ayam tersebut juga tidak baik untuk dipelihara karena dianggap sorokau (ayam pembawa sial), dan 5) Bila ayam jantan berkokok seperti menyuarakan ‘pelihara aku’ (makkau) maka ayam tersebut baik untuk dipelihara karena dianggap pembawa rezeki.
12970431392130522050
Dalam kitab La Galigo diceritakan bahwa tokoh utama dalam epik mitik itu, Sawerigading, kesukaannya menyabung ayam. Dahulu, orang tidak disebut pemberani (to-barani) jika tidak memiliki kebiasaan minum arak (angnginung ballo), judi (abbotoro’), dan massaung manu’ (adu ayam), dan untuk menyatakan keberanian orang itu, biasanya dibandingkan atau diasosiasikan dengan ayam jantan paling berani di kampungnya (di negerinya), seperti “Buleng – bulengna Mangasa, Korona Mannongkoki, Barumbunna Pa’la’lakkang, Buluarana Teko, Campagana Ilagaruda (Galesong), Bakka Lolona Sawitto, dan lain sebagainya. Dan hal sangat penting yang belum banyak diungkap dalam buku sejarah adalah fakta bahwa awal konflik dan perang antara dua negara adikuasa, penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa dan Bone diawali dengan “Massaung Manu”. (Manu Bakkana Bone Vs Jangang Ejana Gowa).
***
Pada tahun 1562, Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1548 – 1565) mengadakan kunjungan resmi ke Kerajaan Bone dan disambut sebagai tamu negara. Kedatangan tamu negara tersebut dimeriahkan dengan acara ’massaung manu’. Oleh Raja Gowa, Daeng Bonto mengajak Raja Bone La Tenrirawe Bongkange’ bertaruh dalam sabung ayam tersebut. Taruhan Raja Gowa 100 katie emas, sedang Raja Bone sendiri mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampong). Sabung ayam antara dua raja penguasa semenanjung timur dan barat ini bukanlah sabung ayam biasa, melainkan pertandingan kesaktian dan kharisma. Alhasil, Ayam sabungan Gowa yang berwarna merah (Jangang Ejana Gowa) mati terbunuh oleh ayam sabungan Bone (Manu Bakkana Bone).
Kematian ayam sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan kesaktian dan kharisma Raja Gowa oleh Raja Bone, sehingga Raja Gowa Daeng Bonto merasa terpukul dan malu. Tragedi ini dipandang sebagai peristiwa siri’ oleh Kerajaan Gowa. Di lain pihak, kemenangan Manu Bakkana Bone menempatkan Kerajaan Bone dalam posisi psikologis yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil yang terletak di sekitarnya. Dampak positifnya, tidak lama sesudah peristiwa sabung ayam tersebut serta merta kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone menyatakan diri bergabung dengan atau tanpa tekanan militer, seperti Ajang Ale, Awo, Teko, serta negeri Tellu Limpoe.
Peristiwa itu menunjukkan betapa besar pengaruh psikologis ’Massaung Manu’ tersebut sehingga menjadi pangkal konflik dan perang Bone Vs Gowa. Bergabungnya Tellu Limpoe menjadi wanua palili Bone yang sebelumnya berstatus wanua palili Kerajaan Gowa dijadikan dalih oleh Gowa melancarkan serangan militer pertama ke Bone dalam tahun 1562. Tahun berikutnya, serangan militer kedua menyusul dengan jumlah pasukan yang lebih besar, Serangan militer ketiga dan keempat dilancarkan lagi dalam tahun 1565. Raja Gowa XI, I Tajibarani Daeng Marumpa Karaeng Data Tunibata yang hanya naik takhta selama 20 hari ini tewas dalam peperangan ini. Dalam setiap serangan militer Gowa ke Bone, Gowa tidak pernah menaklukkan betul Bone sehingga selalu diakhiri dengan perjanjian Perdamaian, namun Gowa selalu mengingkari perjanjian itu dan tetap menunggu kesempatan yang baik untuk menaklukkan Bone. Dalam tahun 1575, dilancarkanlah serangan militer kelima sampai akhirnya Bone benar – benar dikalahkan dan ditaklukkan dimasa pemerintahan Raja Gowa I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna dalam tahun 1611.
Sejarah konflik dan Perang Gowa Vs Bone ini menarik dicermati karena diakhir penaklukan Bone oleh Gowa, alasan perang yang dipakai Sultan Alauddin adalah alasan ”Bundu Kasallangan” atau ”Musu Sellenge”, yaitu memerangi suatu kerajaan supaya masuk Islam. Sementara dalam istana Bone, beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Gowa merupakan satu pelanggaran kedaulatan negara atas negara lain sehingga setiap peperangan harus dibalas dengan peperangan. Di belakang hari, sebab inilah yang memicu kebangkitan semangat Arung Palakka untuk memerdekan Bone (Negeri Bugis) atas penjajahan Gowa, terlebih lagi setelah pengerahan sekitar 40.000 tenaga kerja paksa orang Bone – Soppeng membangun Benteng – benteng Makassar. (Makkulau, 2008).
***
Ayam adalah simbol kejantanan. Ayam merupakan hewan simbolis sekaligus pertaruhan gengsi laki – laki. Mungkin jika diambilkan perumpamaan, sekarang ini tidak disebut seseorang itu laki – laki jika tidak menggemari bola dan kalau dahulu, tidak disebut seseorang itu laki – laki jika tidak menggemari sabung ayam. Hanya saja, kini terjadi pergeseran cara pandang, apa – apa dijudikan. Sabung ayam dijudikan, Sepak bola dijudikan. Maka wajar saja jika sabung ayam dan sepakbola kini menjadi perhatian serius aparat kepolisian. Padahal dulunya, sabung ayam malah menjadi tontonan yang sangat menarik, termasuk para bangsawan dan raja.
Adalah Ustadz Hattab, mantan pegawai Departemen Agama Pangkep yang setiap saat menyempatkan singgah di rumah usai mengantar isterinya mengajar di suatu sekolah yang juga tak jauh dari rumah, mengungkapkan bahwa sabung ayam sebenarnya—sebagaimana juga ma’barazanji—merupakan sarana bersosialisasi untuk mengenal banyak orang dan banyak kampung. Mantan penyabung ayam ini mengakui bahwa dirinya mengenal banyak orang dan sering diundang keluar masuk kampong karena ayam sabungannya yang terkenal sanggup mematikan ayam sabungan lainnya hanya dengan satu kali lompatan.
Tradisi sabung ayam ternyata bukan hanya milik kebudayaan Bugis Makassar. Di Toraja Sa’dang, tradisi sabung ayam dikenal dengan nama paramisi, biasanya digelar sebagai rangkaian masa duka dalam sebuah keluarga. Bagi orang Toraja, ayam adalah simbol langit. Di Kajang, ada tradisi yang disebut pabitte passapu’, yaitu mengadu ikat kepala yang telah disimpul seperti ayam. Ikat kepala itu akan berkelahi layaknya ayam. Hal ini tentu saja terjadi karena adanya kekuatan mistis dan supranatural untuk menggerakkan ikat kepala itu menjadi ’hidup’. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar